Burung-burung pun bernyanyi
Bunga pun tersenyum
Melihat kau hibur hatiku
Hatiku mekar kembali
Terhibur symphony, pasti hidupku kan
bahagia….
(Diraihnya
hand-phone di meja belajar)
“Semangat
pagi… (samar-samar terdengar dari seberang) gimana Vem, tugas semalem udah kelar??”
“Haduh
kamu ini Bin, jam-jam segini orang ngantuk-ngantuknya juga udah miscall-miscall
aja… nanyain tugas lagi. Huh!!” (dijawab dengan ketus)
“Eitssss.
Jangan marah sayang… detik-detik terakhir ya gak papa lah all out. Hehehe”
“Iya
deh… kamu emang paling bisa ngerayu aku,” celoteh Vembri sekenanya.
“Udah.
Aku mau tidur lagi!!” (tambah Vembri sambil menutup percakapan pagi itu)
“Eh
eh… shalat subuh dul (tut tut tutttttttt) u….” (sambung Bintang namun sudah
tidak dihiraukan lagi)
Dasar
ni anak satu, paling gak bisa diajak kompromi (gumam Bintang dalam hati).
Mentari
telah tersenyum simpul. Begitu pula dengan kedua anak manusia ini. Ya…
persahabatan mereka memang tak dapat diragukan lagi. Jika dilihat dari latar
belakang mereka pada kenyataannya berbeda. Vembri yang terlahir dari keluarga
yang serba terpenuhi akan semua keinginannya, sedangkan Bintang makan pun hanya
cukup untuk hari ini entah esok hari, masih jauh dari angan. Namun keduanya tak
pernah mengindahkan akan hal itu.
Semua
berlalu dengan jalannya yang apik. Perangko dan amplopnya! Yah itulah panggilan
dari teman-teman sekolah mereka. Ada… saja pembicaraan dan kegiatan yang
menakdirkan mereka untuk selalu berdua. Mulai dari tugas sekolah, kegiatan sosial
dan lain sebagainya.
Hari
berganti hari. Tak ada satupun yang merubah kedekatan mereka. Hingga pada
saatnya Vembri dinyatakan diterima di perguruan tinggi ternama dengan pilihan
yang dipilihnya yaitu Fakultas Hubungan Internasional. Sementara Bintang dengan
dibantu keringanan biaya dari sekolah, ia pun dapat melanjutkan pendidikannya
di salah satu perguruan tinggi yang tak kalah ternama dengan sahabatnya Vembri.
Berbeda dengan Vembri yang menyukai bidang-bidang sosial yang cenderung
bergulat dengan orang banyak. Bintang pun tetap teguh dengan cita-citanya sejak
kecil yaitu menjadi Psikolog.
Rintik
hujan menghiasi telinga. Guntur bersahutan saling menjawab heningnya sore itu.
Vembri tak kuasa menahan harunya dentuman keras. Diarrrrrrrr… sontak ia
terbangun dari tidur panjangnya. Jiwa yang rapuh serentak menjadi keras.
Vemb bsok siang temui aku di tmpat
biasa y. aku mau ngmong pntg *Bintang*
Sempat
terlintas dipikirannya, ‘apa yang terjadi dengan anak ini’. (gumamnya dalam
hati)
Udara
senja nampaknya tak bersahabat dengannya. Ruang tengah sudah gaduh dengan
peraduan mulut antara dua insan. Ini perhelatan yang pertama kali semenjak
belasan tahun lamanya bersama dalam satu atap.
“Papa
kemana aja!! Coba pikirkan setiap hari jam segini baru pulang,” Sonya tak
terima.
“Dasar
perempuan tak tau diuntung. Aku kerja banting tulang tak pernah kau lihat, lalu
apa? Apa yang kau hasilkan dari bajumu itu? Cuma bersenang-senang dengan
laki-laki itu??” (jemarinya menunjuk ke wajah Nyonya Sonya yang semakin geram)
“Cukup-cukup…
selalu saja kamu menyalahkan aku. Seakan semua memang salahku.”
Plakkkkkkkkkkkkk….
(tangan ringannya menapak dipipi Sonya)
Vembri
hanya terdiam di kamarnya berbalut bantal yang menindih kepalanya. Ia tak ingin
mendengar kata-kata itu.
“Iya…
Papa Mamaku memang sibuk dengan dunianya sendiri. Papa yang bergulat dengan
semua bisnisnya, sementara Mama tak mau dianggap remeh, juga menjajakkan kariernya
dengan membuka butik. Namun bukankah mereka sudah tau kesibukan keduanya?? Lalu
mengapa masih saja seperti itu?” (protes Vembri lirih)
Tiba-tiba
pembantu yang setia menemani dari pagi hingga pagi lagi memanggil, “Non… ada
temennya yang datang….”
Pikiranku
sontak kosong. “Temen? Siapa, Bintang? Gak mungkin sore-sore gini.” (gumamnya
dalam hati)
“Non….”
“I…
iya Mbok? (dibuka pintu kamarnya) Siapa sih Mbok?”
“Katanya
temen kampusnya non Vembri?” (sembari sibuk menyiapkan makan di meja)
“Hah????
Temen kampus? Siapa sih GJ banget.”
“Penggemarnya
mungkin Non??” (ejek pembantunya)
“Ih.
Si Simbok ini.” (lalu Vembri menuju pintu depan dan membukanya) grekkkkkk….
“Hai
Vemb….” (nampak senyum simpul yang menawan hati)
“Lho
kakak kok bisa sampai sini??
“Iya
aku tadi gak sengaja lewat. Oh iya… ada kampus kan sore ini?? Barengan aja
yuk.”
“Tapi
a aku mau… (Vembri mencoba mencari alasan) aku mau jenguk temen dulu. Iya…
jenguk temen.”
“Iya
gak papa aku anter.”
Vembri
pun tak dapat menolak ajakan Ardhian. Tanpa berfikir panjang ia bergegas
mengambil tas dan tak sempat mengisi perutnya.
Siapa
sangka dari situlah kedekatan mereka mulai terjalin. Tak pernah ia duga ada
seorang laki-laki yang mau mendekatinya. Ya mungkin itulah sahabat pengganti
Bintang. Dimana Bintang sahabat lamanya yang kini mulai melupakannya.
Senin
pagi berlalu, sahabat yang ia tunggu tak kunjung datang. Vembri mulai resah.
Ada apa dengan sahabatnya yang tak kunjung terlihat batang hidungnya. Diambil
hand-phone yang ada dalam tasnya. Sembari ia mengais hand-phone yang tercampur
dengan berbagai tugas kuliah yang menjamur, Vembri sesekali melongokkan
kepalanya ke kanan dan ke kiri. Satu menit, dua menit hingga dua jam ia
habiskan di tempat peraduannya. Sempat berpikir ingin pulang dan melampiaskan
semua amarahnya. Namun hatinya sesekali menolak ‘aku harus nungguin Bintang,
aku gak boleh ninggalin Bintang’.
Hatinya
mulai koyak. Ia sudah tak sabar lagi menunggu hingga jam ke tiga.
“Bintang
gak pernah serius, mentang-mentang sekarang udah punya temen baru kayak gitu!”
(mukanya tak lagi dapat berbohong). Kekecawaanya pun terlengkapi sudah dengan
gadgetnya yang lawbate.
“Arghhh…
dasar Bintang udah lupa sekarang sama aku. Dia beda udah gak pernah sms aku
lagi, telfon aja seminggu sekali. Yah. Paling sms aja satu dua kali. Apa sih
maunya tu anak! (nerocos sendiri tak ada habisnya) Sibuk! Iya sibuk… tapi apa
salahnya sms kalo gak jadi kayak gini? Sialan pake mati segala nih HP!!”
(dibantingnya ke dalam tas)
Hari
semakin larut. Vembri pun tak sabar menunggu kedatangan sahabatnya. Ia sudah
tak tahu lagi. Mau bertanya, kepada siapa? Ia tak kenal dengan mereka. Bintang
sahabatnya yang mana saja mereka belum tentu tahu. Pada akhirnya ia memutuskan
tuk pulang.
Dan
seminggu tlah berlalu, namun tak satupun kabar dari kawannya datang. Vembri
semakin gelisah saat ponselnya tidak aktif. Sempat ia berfikir buruk akan temannya.
“Ayolah
Bin… jawab telfon aku?? Kamu dimana?? Kalopun kamu marah sama aku, kenapa? Beri
alasannya, tapi jangan ngilang gini juga.” (ungkapnya gelisah sembari mencoba
menghubungi temannya)
“Haeyyyyyy!!
Nglamun aja? Ada apa sini-sini cerita sama kakak.”
“Gak
kenapa-napa kog kak.” (masih sibuk dengan hand-phone yang diletakkan
ditelinganya)
“Yah…
kamu sama kakak masih kayak gitu, gak mau jujur. Ayolah bilang aja siapa tau
kakak bisa bantu.”
“Gimana
ya kak?? (sambil menggaruk-garuk kepala) Aku gak enak.”
“Gak
gimana-gimana, udah cerita aja kakak dengerin kok,” sambung Ardhian sembari
meyakinkan.
“Umbbbb…
gini kak, aku kan SMA dulu punya sahabat namanya Bintang. Anaknya baik, cantik,
smart… segalanya deh buat aku.”
“Perfect
dong??” (celoteh Ardhian sekenanya)
“Jangan
dipotong kakak?” (nadanya jengkel mengingatkan)
“Hehe…
iya-iya ayo lanjutin.”
“Tapi
seperti yang kakak bilang sih, dia emang smart, perfect pokoknya. Dia dulu tu
slalu ada buat aku, tapi sekarang mana? Dia malah menghilang tanpa jejak.”
“Ya
makanya dicari dipeta?? Hehe” (Ardhian kembali mencoba meredakan amarah Vembri
yang menggebu)
“Kakak
nih, bercanda mulu! Gak jadi ajalah!” (memalingkan wajahnya dan beranjak dari
tempat duduknya)
“Cieeeeh
ngambek?? Ntar jelek lhow,” tambah Ardhian sekenanya.
“Emang
udah jelek dari dulu kog. Wekkkkk.”
Suasana
pun semakin riuh dengan keakraban keduanya. Seakan tak ada pembatas lagi.
Tertawa, bersenda gurau sepuasnya. Tak terasa adzan maghrib tlah berkumandang.
Keduanya pun bergegas mencari masjid. Tidak ada kata diam dan tidak mengejek
satu sama lain.
“Cari
makan dulu yuk Vemb, (mengusap perut) kakak laper nih.”
“Boleh-boleh…
siap! Tinggal makan aja kan?? Hehe”
“Iya…
santai aja?? Yang penting kan kenyang dulu, ntar kalo ujungnya suruh cuci
piring ya gak papa, yang penting kan udah kenyang? Hahaha….”
“Hasialan
kak, tega banget? Ntar kalo aku yang cantik ini jadi turun kasta cuma gara-gara
nyuci piring gimana??”
(sambil
mengajak-acak rambut Vembri) “Hu dasar anak narsis, pengennya tenar mulu
dimana-mana.”
“Biarin…
kalo kata Mama resiko orang cantik. Hahahahahhahah”
Canda
tawa itu pun kembali menjadi. Tak dapat dibendung lagi celaan demi celaan.
Mungkin orang yang tak biasa dengan caranya berbicara akan memerah telinganya
ketika disamping mereka. Iri rasanya melihat pasangan yang akrab dan tak tahu
malu. Hanya ada canda dan tawa setiap langkah mereka. Tak ada amarah, tak ada
yang disembunyikan satu sama lain. Semuanya seakan tanpa beban.
Namun
hati kecilnya tak bisa dibohongi. Ia sesekali melongok ponselnya berharap ada
yang memberi kabar, yahhh setidaknya sms. Namun semuanya hanya harapan semata.
(disenggol
pundak Vembri) “Heh. Bengong aja! Ntar kesambet lhow….”
Vembri
hanya membalasnya dengan senyum datar. Ia sudah tak sanggup menahan rasa
rindunya. Semalam suntuk ia menunggu. Tidur tapi tak tidur, berfikir tapi
kosong. Entahlah ia pun tak tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan sahabatnya.
Keinginannya
bertemu dengan Bintang pun sudah tak dapat dibendung. Ia memutuskan untuk
menengok ke rumahnya. Namun apa yang terjadi? Tetap nihil, ia tak bertemu
dengan siapapun.
Mentari
pagi kembali unjuk gigi. Terik sinarnya yang semakin menusuk tulang. Tubuh yang
semakin kurus kering tak berdaya menghadapi kerasnya hidup. Sahabat yang dahulu
merangkulnya, kini sudah tak ada lagi. Senyum, canda, tawa kini tenggelam
bersama mentari senja. Ia tak kenal siapa
akan dirinya. Tubuh kekarnya perlahan menyusut. Seakan hidup segan matipun tak
mau. Yah itulah yang tergambar dalam wajah keruhnya.
“Apa!
Apalagi yang kau harapkan. Semua sudah hancur. Kepercayaanku sudah tak bisa
kembali. Kau hanya bersenang-senang dengan perempuan-perempuan itu. Dimana…
dimana tanggung jawabmu yang dulu!”
“Dasar
wanita banyak ngomong! Kau tuduh-tuduh semau mulutmu sendiri. Mana buktinya,
mana!”
“Sudah!
Sudah Ma Pa aku capek tiap hari denger ini semua tiap hari. Mana Mama Papa yang
dulu? Mana Mama Papa yang selalu ada buat Vembri. Mana Ma Pa? Apa setiap hari
juga kayak gini terus?? Bunuh Vembri Ma, bunuh Vembri aja!”
“Diam
kamu! Anak kecil gak tahu apa-apa. Shittttttttt!!!” (sambil membanting bantal
sofa, lalu pergi)
Vembri
terbujur kaku. Menangis sontak tak berdaya. Orang tua yang dahulu jadi penopang
hidupnya kini retak.
“Sudah
Non, Bapak Ibu baru capek jadi kayak gitu. Gak usah didengerin ya Non?”
(memapah tubuh mungil itu beranjak dari lantai)
Vembri
hanya bisa menangis tersendu-sendu. Pikirannya tak tahu entah kemana. Pagi,
siang, sore, malam memang ia hampir tak pernah bertemu dengan kedua
orang-tuanya. Mereka sibuk dengan bisnisnya sendiri. Hanyalah uang dan uang
yang ada dipikiran mereka.
“Tapi
aku gak butuh semua itu Ma Pa! Aku butuh kalian. Aku juga pengen diperhatiin
kayak yang lainnya. Selalu ada waktu buat cerita, bercanda, makan bareng,
keluar bareng. Tapi kapan Ma? Kapan Papa ada waktu buat aku? Kapan?? Apa kalian
gak sayang sama aku lagi??”
“Non
Vembri gak boleh ngomong gitu.. Bapak Ibu sayang kok sama Non, buktinya mereka
rela banting tulang gak pernah kenal lelah siang malam buat siapa? Ya Cuma buat
Non Vembri?”
“Tapi…
tapi aku gak butuh itu semua Mbok?? Aku juga butuh perhatian dari mereka. Aku
juga pengen ngeliat mereka akur lagi, gak kayak gini. Sekarang sedikit-sedikit
bertengkar. Aku capek Mbok lihat semua itu.”
Burung-burung pun bernyanyi
Bunga pun tersenyum
Melihat kau hibur hatiku
Hatiku mekar kembali
Terhibur symphony, pasti
hidupku kan bahagia….
“Hand-phonenya
bunyi Non.”
Vembri
lalu bergegas mengambilnya. Ia sontak gembira. Namun semuanya berubah jadi
muram ketika melihat nama kontak yang menelfonnya.
“Iya
kenapa Kak??”
“Kamu
dimana Vemb, kok hari ini Kakak cari di kampus gak ada??”
“Aku
kurang enak badan Kak, jadi gak berangkat hari ini.”
“Kamu
sakit?? Kenapa gak bilang?”
“He…
lebay nih Kakak. Aku gak papa kog Kak, ini juga ada Simbok yang temeni aku.”
“Yaudah
ntar kalo Kakak udah selesai tak mampir. Mau dibawain apa??”
“
Cieeeee… dibawain apa ya?? Dibawain hatinya aja boleh Kak hehehe”
“Dasar
ni anak. Sakit aja masih bisa ngegombal.”
“Yaudah
Kakak masuk kelas dulu. Assalamu’alaikum….”
Tubuh
kecil itu mulai bangkit. Ia tak ingin bermanja-manja dengan penyakit yang
bersarang ditubuhnya.
“Vembri
harus kuat, harus tegar. Aku bukan perempuan yang lemah. Aku gak bisa deremhin
gitu aja. Semangat Vembri… semangat!!”
“Semangat!!!”
(pembantunya menyahut dari belakang, sambil mengangakat tangannya)
“Hehe…
ada Simbok??”
“Nah.
Ini baru Non Vembri yang Simbok kenal???”
“Makasih
ya Mbok. Aku berangkat kuliah dulu. Bilangin sama Mama kalo nanti aku pulangnya
telat, mau ke tempatnya Bintang dulu.”
“Siap
Non cantik.”
“Yaudah
Mbok. Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikumsalam…
hati-hati, jangan lupa makan Non.”
Satu
bulan telah berlalu. Namun tetap tak ada kabar dari Bintang. Berulang kali
Vembri menyambangi rumahnya,
namun tetap nihil. Tetangganya pun tak ada yang tahu kemana mereka pergi. Yah…
maklum hidup di kota??? Semua serba sendiri, tak ada yang gratis… tak ada yang
peduli.
(suara
parau dari seberang) “Gimana Vemb, udah ketemu sama Bintang??”
“Belum
Ma… gak ada satu titik pun yang terang.”
“Yaudah…
kamu jangan lupa juga jaga kesehatannya. Mama nanti pulang terlambat ya. Kamu
makan dulu gak papa”. (sembari ditutup perbincangannya)
“Hummmm…
nasib anak wanita karier??? Yah beginilah apa-apa sendiri, paling juga Cuma
sama Simbok. Lama-lama ambil alih anak Simbok nih aku.”
Disusurinya
lorong kumuh yang tak terawat. Manusia berjubal di tempat peraduaannya. Tetapi
tetap tak ada yang mau peduli dengan lingkungannya sendiri. Memang merubah
kebiasaan itu sulit. Tapi apa tidak ada keinginan sedikitpun dihati mereka
untuk merubahnya?? Ya… setidaknya halamannya sendiri.
“Pak
pak… maaf mau tanya, Bapak kenal sama Bintang anaknya Pak Darmanto yang
tinggalnya di ujung gang depan??”
“Oh
maaf Neng, Bapak kurang tahu. Coba tanya sama Pak RT saja.”
“Dimana
ya Pak tinggalnya Beliau kalau boleh tahu.”
“Eneng
jalan aja lurus, nanti bertemu gang Neng ambil yang kanan. Nah disitu ada rumah
cat warna orange dan berpagar itu rumahnya Pak RT.”
“Oh
ya ya Pak… terima kasih. Mari Pak…”
“Mari
Neng, mari….”
Berbalut
kain seadanya nampak dari seberang
terlihat nenek tua renta. Jalan pun sebenarnya tak sanggup. Namun ia
tetap harus mencari uang untuk menyambung hidupnya. Hanyalah cucunya yang
menjadikan ia tetap tegak hingga saat itu. Dengan sabarnya ia menuntun sembari
menyodorkan kaleng bekas susu ternama.
“Sudah
makan Nek?” (tanya Vembri ramah)
“Kasihanilah
kami… kami belum makan dari tadi pagi nak.”
“Oh
iya iya… mari Nek ke warung makan seberang. Nenek sama adik makan saja gak
papa.”
“Terima
kasih Nak, semoga Allah membalas kebaikanmu.”
“Amin
amin....”
Rasanya
Vembri tak rela meninggalkan pandangan sore itu. Ia melihat betapa berharganya
sesuap nasi bagi mereka. Tidak hanya nenek tua dan cucunya yang aku jumpai,
tetapi orang-orang di luar sana tentu masih banyak yang lebih membutuhkan.
Setelah menunggu beberapa menit saja sudah lenyap. Betapa senangnya melihat
mereka tersenyum. Yah… setidaknya untuk malam ini mereka tidak memikirkan
bagaimana dan darimana uang untuk makan.
Kini
genap dua bulan sudah Vembri tak bersua dengan Bintang. Dan semenjak itu pula
kondisi keluarga Vembri berantakan. Orang tuanya yang dahulu perhatian, kini
acuh tak acuh dengannya. Entah karena apa, Vembri pun tak mengerti. Namun
terlihat jelas bahwa keduanya memang sedang mengalami kejayaan dibidangnya
masing-masing. Jadi tidak heran jika mereka saling membanggakan kesombongannya
sendiri.
Jumat
pagi Vembri sudah tak lagi bisa menahan rasa sakit yang bersemayam ditubuhnya.
Ia terbujur kaku di tempat tidurnya. Hingga untuk kedua kalinya ia harus
menyambung nafasnya dengan bantuan alat rumah sakit. Namun kini semuanya
berbeda. Sakitnya nampak serius jika dilihat dari dokter yang menanganinya.
“Pak
Bu… berat rasanya saya mengatakan semua ini. Namun ini tetap harus saya
lakukan. Mengapa? Karena Bapak Ibu pantas tahu dan mungkin dapat kita ambil
keputusan secepatnya.” (kata Dokter dengan nada beratnya)
“Sudah
Dok, katakan saja cepat!” (desak Papa Vembri)
“Apa
Dok, ada apa dengan anak saya? Vembri baik-baik kan Dok? (sambung Sonya
gelisah)
“Tenang
Pak, Bu… namun hasil dari diagnosa terakhir Vembri mengidap penyakit Kanker
stadium akhir. Jadi tinggal sepuluh hari lagi ia dapat bertahan.”
“Gak
mungkin Dok! Gak mungkin!!!”
“Iya
ini sebatas kemampuan kami Bu, semua takdir sudah ada yang mengatur jadi kita
pasrahkan sama Tuhan saja yang Maha Berkendak akan semua umat-Nya.”
Sonya
pun hanya bisa menangis tersendu setelah mendengar perkataan Dokter. Ia tak
terima lalu menyalahkan suaminya. Disitulah keributan mulai ditunjukkan lagi.
Mereka suguhkan dengan sangat apik. Hingga tak pantas didengar oleh anaknya
yang terkapar menunggu ajal.
Vembri
terbangun, namun tak dilihatnya satu orang pun disekelilingnya. Ia mencoba
memanggil suster yang berjaga dikamarnya.
“Sus…
tolong minta air putihnya saya haus.”
“Oh
iya Mbak… (berjalan menghampiri tempat pembaringannya) ini Mbak, hati-hati.”
“Mama
Papa saya kemana ya Sus? Apa mereka belum kesini.”
“Sudah
Mbak, beliau baru bertemu dengan Dokter.”
“Oh.
(jawabnya datar) Memangnya saya sakit apa Sus?”
“Maaf
Mbak… Suster kurang tahu masalah itu.” (ditinggalnya oleh Suster menyiapkan
makan siang untuk pasien lain)
Tak
terasa seminggu sudah ia terbaring di tempat yang menyiksanya. Badannya semakin
kurus kering tak berupa. Ardhian yang menjenguknya pun hanya bisa diam,
menangis tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia setia menunggui Vembri
yang sekarat menunggu malaikat mencabutnya. Orang tuanya yang dahulu berpijak
pada pendiriannya masing-masing kini sudah mulai mereda. Sudah tak tampak lagi
ego diantara mereka.
“Bintang…
Bin, aku ikut Bin… jangan lari.” (igauan Vembri dengan bibir pucatnya yang
menggigil)
Sonya
pun panik, “Sayang bangun sayang… ini Mama disini Nak?”
(Vembri
pun tetap tidak mendengar) Bintang… tunggu aku?? Aku mau ikut kamu. Tunggu
Bin….”
Seketika
Vembri tersadar dan menangis, “Ma… Vembri takut?? Kenapa Bintang ngajakin aku
ikut dia????”
Sonya
pun hanya menangis tak berdaya.
“Ma…
kenapa Mama nangis?? Vembri baik-baik kog Ma. Jangan sedih, nanti cantiknya
hilang lhow Ma??” (Vembri mencoba menghilangkan rasa gelisha yang tak bisa
disembunyikan oleh Sonya)
(Sonya
tersenyum) “Iya sayang… Mama gak sedih kok. Mama temani Vembri disini ya, jadi
gak usah takut sayang.”
(melongokkan
kepala) “Ma… Papa mana? Vembri pengen ketemu sama Papa.”
Dipanggilnya
suami yang duduk di sudut ruang. Lalu mereka bergegas menyambangi putri
kecilnya.
“Pa….”
(dipanggilnya lirih)
“Iya
kenapa Vemb… Udah enakan kan sekarang?”
“Udah
Pa, cuma masih pusing aja. (memegang kepalanya) Pa, Vembri ada satu permintaan,
tapi Papa bisa nepatin gak ya??” (celotehnya biasa)
“Apa
Vemb? Semua akan Papa lakukan buat Vembri.” (Sonya mengusap-usap dahi Vembri
dan sesekali menciuminya)
“Vembri
gak mau lihat Papa Mama bertengkar kayak kemarin lagi. Papa yang akur dong sama
Mama. Jangan galak-galak sama Mama, kan kasihan Pa? Apa Papa gak kasihan kalau
nanti Vembri udah pergi, Papa masih marah-marah sama Mama terus?”
“Shhuuutttttt…
kamu ngomong apa Nak?? Kamu itu baik-baik saja. Kamu pasti sembuh.” (dengan
nada optomis)
“Iya
Pa… Vembri pasti sembuh tapi umur manusia juga cuma Tuhan yang tahu. Makanya
Papa Mama janji ya sama Vembri, gak bakal berantem-berantem kayak kemarin
lagi.”
Kedua
orang tuanya saling memandang, dan sejenak terdiam seakan menyimpan tanya.
“Udah
Ma… gak usah banyak mikir. Yakinlah Ma, ego kalau diturutin gak akan ada
habisnya.”
“Iya
sayang… Papa Mama baik-baik aja kok. Tapi yang penting Vembri cepet sembuh ya??
Mama gak mau lihat Vembri kayak gini.” (Dipeluknya tubuh ramping yang mulai
kusut)
“Doain
Vembri ya Ma… biar Vembri cepet sembuh. Biar Vembri bisa cari Bintang, biar
Vembri bisa gangguin Mama desain baju.” (sekali lagi Sonya mencium kening anak
semata wayangnya yang sedang meregang nyawa)
Disitulah
ia genggam erat-erat tangan Ayahnya. Namun perlahan-lahan genggaman itu lepas.
Dicarinya genggaman itu namun sudah tiada. Genggaman yang ia rasakan satu detik
yang lalu kini hanyalah kenangan yang pertama dan terakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar