Kamis, 08 Mei 2014

Kumpulan Cerpen (CORETAN LAMAKU)

Mama, Do’akan Aku

Burung-burung pun bernyanyi
Bunga pun tersenyum
Melihat kau hibur hatiku
Hatiku mekar kembali
Terhibur symphony, pasti hidupku kan bahagia….
(Diraihnya hand-phone di meja belajar)
“Semangat pagi… (samar-samar terdengar dari seberang)  gimana Vem, tugas semalem udah kelar??”
“Haduh kamu ini Bin, jam-jam segini orang ngantuk-ngantuknya juga udah miscall-miscall aja… nanyain tugas lagi. Huh!!” (dijawab dengan ketus)
“Eitssss. Jangan marah sayang… detik-detik terakhir ya gak papa lah all out. Hehehe”
“Iya deh… kamu emang paling bisa ngerayu aku,” celoteh Vembri sekenanya.
“Udah. Aku mau tidur lagi!!” (tambah Vembri sambil menutup percakapan pagi itu)
“Eh eh… shalat subuh dul (tut tut tutttttttt) u….” (sambung Bintang namun sudah tidak dihiraukan lagi)
Dasar ni anak satu, paling gak bisa diajak kompromi (gumam Bintang dalam hati).
Mentari telah tersenyum simpul. Begitu pula dengan kedua anak manusia ini. Ya… persahabatan mereka memang tak dapat diragukan lagi. Jika dilihat dari latar belakang mereka pada kenyataannya berbeda. Vembri yang terlahir dari keluarga yang serba terpenuhi akan semua keinginannya, sedangkan Bintang makan pun hanya cukup untuk hari ini entah esok hari, masih jauh dari angan. Namun keduanya tak pernah mengindahkan akan hal itu.
Semua berlalu dengan jalannya yang apik. Perangko dan amplopnya! Yah itulah panggilan dari teman-teman sekolah mereka. Ada… saja pembicaraan dan kegiatan yang menakdirkan mereka untuk selalu berdua. Mulai dari tugas sekolah, kegiatan sosial dan lain sebagainya.
Hari berganti hari. Tak ada satupun yang merubah kedekatan mereka. Hingga pada saatnya Vembri dinyatakan diterima di perguruan tinggi ternama dengan pilihan yang dipilihnya yaitu Fakultas Hubungan Internasional. Sementara Bintang dengan dibantu keringanan biaya dari sekolah, ia pun dapat melanjutkan pendidikannya di salah satu perguruan tinggi yang tak kalah ternama dengan sahabatnya Vembri. Berbeda dengan Vembri yang menyukai bidang-bidang sosial yang cenderung bergulat dengan orang banyak. Bintang pun tetap teguh dengan cita-citanya sejak kecil yaitu menjadi Psikolog.
Rintik hujan menghiasi telinga. Guntur bersahutan saling menjawab heningnya sore itu. Vembri tak kuasa menahan harunya dentuman keras. Diarrrrrrrr… sontak ia terbangun dari tidur panjangnya. Jiwa yang rapuh serentak menjadi keras.
Vemb bsok siang temui aku di tmpat biasa y. aku mau ngmong pntg *Bintang*
Sempat terlintas dipikirannya, ‘apa yang terjadi dengan anak ini’. (gumamnya dalam hati)
Udara senja nampaknya tak bersahabat dengannya. Ruang tengah sudah gaduh dengan peraduan mulut antara dua insan. Ini perhelatan yang pertama kali semenjak belasan tahun lamanya bersama dalam satu atap.
“Papa kemana aja!! Coba pikirkan setiap hari jam segini baru pulang,” Sonya tak terima.
“Dasar perempuan tak tau diuntung. Aku kerja banting tulang tak pernah kau lihat, lalu apa? Apa yang kau hasilkan dari bajumu itu? Cuma bersenang-senang dengan laki-laki itu??” (jemarinya menunjuk ke wajah Nyonya Sonya yang semakin geram)
“Cukup-cukup… selalu saja kamu menyalahkan aku. Seakan semua memang salahku.”
Plakkkkkkkkkkkkk…. (tangan ringannya menapak dipipi Sonya)
Vembri hanya terdiam di kamarnya berbalut bantal yang menindih kepalanya. Ia tak ingin mendengar kata-kata itu.
“Iya… Papa Mamaku memang sibuk dengan dunianya sendiri. Papa yang bergulat dengan semua bisnisnya, sementara Mama tak mau dianggap remeh, juga menjajakkan kariernya dengan membuka butik. Namun bukankah mereka sudah tau kesibukan keduanya?? Lalu mengapa masih saja seperti itu?” (protes Vembri lirih)
Tiba-tiba pembantu yang setia menemani dari pagi hingga pagi lagi memanggil, “Non… ada temennya yang datang….”
Pikiranku sontak kosong. “Temen? Siapa, Bintang? Gak mungkin sore-sore gini.” (gumamnya dalam hati)
“Non….”
“I… iya Mbok? (dibuka pintu kamarnya) Siapa sih Mbok?”
“Katanya temen kampusnya non Vembri?” (sembari sibuk menyiapkan makan di meja)
“Hah???? Temen kampus? Siapa sih GJ banget.”
“Penggemarnya mungkin Non??” (ejek pembantunya)
“Ih. Si Simbok ini.” (lalu Vembri menuju pintu depan dan membukanya) grekkkkkk….
“Hai Vemb….” (nampak senyum simpul yang menawan hati)
“Lho kakak kok bisa sampai sini??
“Iya aku tadi gak sengaja lewat. Oh iya… ada kampus kan sore ini?? Barengan aja yuk.”
“Tapi a aku mau… (Vembri mencoba mencari alasan) aku mau jenguk temen dulu. Iya… jenguk temen.”
“Iya gak papa aku anter.”
Vembri pun tak dapat menolak ajakan Ardhian. Tanpa berfikir panjang ia bergegas mengambil tas dan tak sempat mengisi perutnya.
Siapa sangka dari situlah kedekatan mereka mulai terjalin. Tak pernah ia duga ada seorang laki-laki yang mau mendekatinya. Ya mungkin itulah sahabat pengganti Bintang. Dimana Bintang sahabat lamanya yang kini mulai melupakannya.
Senin pagi berlalu, sahabat yang ia tunggu tak kunjung datang. Vembri mulai resah. Ada apa dengan sahabatnya yang tak kunjung terlihat batang hidungnya. Diambil hand-phone yang ada dalam tasnya. Sembari ia mengais hand-phone yang tercampur dengan berbagai tugas kuliah yang menjamur, Vembri sesekali melongokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Satu menit, dua menit hingga dua jam ia habiskan di tempat peraduannya. Sempat berpikir ingin pulang dan melampiaskan semua amarahnya. Namun hatinya sesekali menolak ‘aku harus nungguin Bintang, aku gak boleh ninggalin Bintang’.
Hatinya mulai koyak. Ia sudah tak sabar lagi menunggu hingga jam ke tiga.
“Bintang gak pernah serius, mentang-mentang sekarang udah punya temen baru kayak gitu!” (mukanya tak lagi dapat berbohong). Kekecawaanya pun terlengkapi sudah dengan gadgetnya yang lawbate.
“Arghhh… dasar Bintang udah lupa sekarang sama aku. Dia beda udah gak pernah sms aku lagi, telfon aja seminggu sekali. Yah. Paling sms aja satu dua kali. Apa sih maunya tu anak! (nerocos sendiri tak ada habisnya) Sibuk! Iya sibuk… tapi apa salahnya sms kalo gak jadi kayak gini? Sialan pake mati segala nih HP!!” (dibantingnya ke dalam tas)
Hari semakin larut. Vembri pun tak sabar menunggu kedatangan sahabatnya. Ia sudah tak tahu lagi. Mau bertanya, kepada siapa? Ia tak kenal dengan mereka. Bintang sahabatnya yang mana saja mereka belum tentu tahu. Pada akhirnya ia memutuskan tuk pulang.
Dan seminggu tlah berlalu, namun tak satupun kabar dari kawannya datang. Vembri semakin gelisah saat ponselnya tidak aktif. Sempat ia berfikir buruk akan temannya.
“Ayolah Bin… jawab telfon aku?? Kamu dimana?? Kalopun kamu marah sama aku, kenapa? Beri alasannya, tapi jangan ngilang gini juga.” (ungkapnya gelisah sembari mencoba menghubungi temannya)
“Haeyyyyyy!! Nglamun aja? Ada apa sini-sini cerita sama kakak.”
“Gak kenapa-napa kog kak.” (masih sibuk dengan hand-phone yang diletakkan ditelinganya)
“Yah… kamu sama kakak masih kayak gitu, gak mau jujur. Ayolah bilang aja siapa tau kakak bisa bantu.”
“Gimana ya kak?? (sambil menggaruk-garuk kepala) Aku gak enak.”
“Gak gimana-gimana, udah cerita aja kakak dengerin kok,” sambung Ardhian sembari meyakinkan.
“Umbbbb… gini kak, aku kan SMA dulu punya sahabat namanya Bintang. Anaknya baik, cantik, smart… segalanya deh buat aku.”
“Perfect dong??” (celoteh Ardhian sekenanya)
“Jangan dipotong kakak?” (nadanya jengkel mengingatkan)
“Hehe… iya-iya ayo lanjutin.”
“Tapi seperti yang kakak bilang sih, dia emang smart, perfect pokoknya. Dia dulu tu slalu ada buat aku, tapi sekarang mana? Dia malah menghilang tanpa jejak.”
“Ya makanya dicari dipeta?? Hehe” (Ardhian kembali mencoba meredakan amarah Vembri yang menggebu)
“Kakak nih, bercanda mulu! Gak jadi ajalah!” (memalingkan wajahnya dan beranjak dari tempat duduknya)
“Cieeeeh ngambek?? Ntar jelek lhow,” tambah Ardhian sekenanya.
“Emang udah jelek dari dulu kog. Wekkkkk.”
Suasana pun semakin riuh dengan keakraban keduanya. Seakan tak ada pembatas lagi. Tertawa, bersenda gurau sepuasnya. Tak terasa adzan maghrib tlah berkumandang. Keduanya pun bergegas mencari masjid. Tidak ada kata diam dan tidak mengejek satu sama lain.
“Cari makan dulu yuk Vemb, (mengusap perut) kakak laper nih.”
“Boleh-boleh… siap! Tinggal makan aja kan?? Hehe”
“Iya… santai aja?? Yang penting kan kenyang dulu, ntar kalo ujungnya suruh cuci piring ya gak papa, yang penting kan udah kenyang? Hahaha….”
“Hasialan kak, tega banget? Ntar kalo aku yang cantik ini jadi turun kasta cuma gara-gara nyuci piring gimana??”
(sambil mengajak-acak rambut Vembri) “Hu dasar anak narsis, pengennya tenar mulu dimana-mana.”
“Biarin… kalo kata Mama resiko orang cantik. Hahahahahhahah”
Canda tawa itu pun kembali menjadi. Tak dapat dibendung lagi celaan demi celaan. Mungkin orang yang tak biasa dengan caranya berbicara akan memerah telinganya ketika disamping mereka. Iri rasanya melihat pasangan yang akrab dan tak tahu malu. Hanya ada canda dan tawa setiap langkah mereka. Tak ada amarah, tak ada yang disembunyikan satu sama lain. Semuanya seakan tanpa beban.
Namun hati kecilnya tak bisa dibohongi. Ia sesekali melongok ponselnya berharap ada yang memberi kabar, yahhh setidaknya sms. Namun semuanya hanya harapan semata.
(disenggol pundak Vembri) “Heh. Bengong aja! Ntar kesambet lhow….”
Vembri hanya membalasnya dengan senyum datar. Ia sudah tak sanggup menahan rasa rindunya. Semalam suntuk ia menunggu. Tidur tapi tak tidur, berfikir tapi kosong. Entahlah ia pun tak tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan sahabatnya.
Keinginannya bertemu dengan Bintang pun sudah tak dapat dibendung. Ia memutuskan untuk menengok ke rumahnya. Namun apa yang terjadi? Tetap nihil, ia tak bertemu dengan siapapun.
Mentari pagi kembali unjuk gigi. Terik sinarnya yang semakin menusuk tulang. Tubuh yang semakin kurus kering tak berdaya menghadapi kerasnya hidup. Sahabat yang dahulu merangkulnya, kini sudah tak ada lagi. Senyum, canda, tawa kini tenggelam bersama mentari senja.  Ia tak kenal siapa akan dirinya. Tubuh kekarnya perlahan menyusut. Seakan hidup segan matipun tak mau. Yah itulah yang tergambar dalam wajah keruhnya.
“Apa! Apalagi yang kau harapkan. Semua sudah hancur. Kepercayaanku sudah tak bisa kembali. Kau hanya bersenang-senang dengan perempuan-perempuan itu. Dimana… dimana tanggung jawabmu yang dulu!”
“Dasar wanita banyak ngomong! Kau tuduh-tuduh semau mulutmu sendiri. Mana buktinya, mana!”
“Sudah! Sudah Ma Pa aku capek tiap hari denger ini semua tiap hari. Mana Mama Papa yang dulu? Mana Mama Papa yang selalu ada buat Vembri. Mana Ma Pa? Apa setiap hari juga kayak gini terus?? Bunuh Vembri Ma, bunuh Vembri aja!”
“Diam kamu! Anak kecil gak tahu apa-apa. Shittttttttt!!!” (sambil membanting bantal sofa, lalu pergi)
Vembri terbujur kaku. Menangis sontak tak berdaya. Orang tua yang dahulu jadi penopang hidupnya kini retak.
“Sudah Non, Bapak Ibu baru capek jadi kayak gitu. Gak usah didengerin ya Non?” (memapah tubuh mungil itu beranjak dari lantai)
Vembri hanya bisa menangis tersendu-sendu. Pikirannya tak tahu entah kemana. Pagi, siang, sore, malam memang ia hampir tak pernah bertemu dengan kedua orang-tuanya. Mereka sibuk dengan bisnisnya sendiri. Hanyalah uang dan uang yang ada dipikiran mereka.
“Tapi aku gak butuh semua itu Ma Pa! Aku butuh kalian. Aku juga pengen diperhatiin kayak yang lainnya. Selalu ada waktu buat cerita, bercanda, makan bareng, keluar bareng. Tapi kapan Ma? Kapan Papa ada waktu buat aku? Kapan?? Apa kalian gak sayang sama aku lagi??”
“Non Vembri gak boleh ngomong gitu.. Bapak Ibu sayang kok sama Non, buktinya mereka rela banting tulang gak pernah kenal lelah siang malam buat siapa? Ya Cuma buat Non Vembri?”
“Tapi… tapi aku gak butuh itu semua Mbok?? Aku juga butuh perhatian dari mereka. Aku juga pengen ngeliat mereka akur lagi, gak kayak gini. Sekarang sedikit-sedikit bertengkar. Aku capek Mbok lihat semua itu.”
Burung-burung pun bernyanyi
Bunga pun tersenyum
Melihat kau hibur hatiku
Hatiku mekar kembali
Terhibur symphony, pasti hidupku  kan bahagia….
“Hand-phonenya bunyi Non.”
Vembri lalu bergegas mengambilnya. Ia sontak gembira. Namun semuanya berubah jadi muram ketika melihat nama kontak yang menelfonnya.
“Iya kenapa Kak??”
“Kamu dimana Vemb, kok hari ini Kakak cari di kampus gak ada??”
“Aku kurang enak badan Kak, jadi gak berangkat hari ini.”
“Kamu sakit?? Kenapa gak bilang?”
“He… lebay nih Kakak. Aku gak papa kog Kak, ini juga ada Simbok yang temeni aku.”
“Yaudah ntar kalo Kakak udah selesai tak mampir. Mau dibawain apa??”
“ Cieeeee… dibawain apa ya?? Dibawain hatinya aja boleh Kak hehehe”
“Dasar ni anak. Sakit aja masih bisa ngegombal.”
“Yaudah Kakak masuk kelas dulu. Assalamu’alaikum….”
Tubuh kecil itu mulai bangkit. Ia tak ingin bermanja-manja dengan penyakit yang bersarang ditubuhnya.
“Vembri harus kuat, harus tegar. Aku bukan perempuan yang lemah. Aku gak bisa deremhin gitu aja. Semangat Vembri… semangat!!”
“Semangat!!!” (pembantunya menyahut dari belakang, sambil mengangakat tangannya)
“Hehe… ada Simbok??”
“Nah. Ini baru Non Vembri yang Simbok kenal???”
“Makasih ya Mbok. Aku berangkat kuliah dulu. Bilangin sama Mama kalo nanti aku pulangnya telat, mau ke tempatnya Bintang dulu.”
“Siap Non cantik.”
“Yaudah Mbok. Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikumsalam… hati-hati, jangan lupa makan Non.”
Satu bulan telah berlalu. Namun tetap tak ada kabar dari Bintang. Berulang kali Vembri menyambangi            rumahnya, namun tetap nihil. Tetangganya pun tak ada yang tahu kemana mereka pergi. Yah… maklum hidup di kota??? Semua serba sendiri, tak ada yang gratis… tak ada yang peduli.
(suara parau dari seberang) “Gimana Vemb, udah ketemu sama Bintang??”
“Belum Ma… gak ada satu titik pun yang terang.”
“Yaudah… kamu jangan lupa juga jaga kesehatannya. Mama nanti pulang terlambat ya. Kamu makan dulu gak papa”. (sembari ditutup perbincangannya)
“Hummmm… nasib anak wanita karier??? Yah beginilah apa-apa sendiri, paling juga Cuma sama Simbok. Lama-lama ambil alih anak Simbok nih aku.”
Disusurinya lorong kumuh yang tak terawat. Manusia berjubal di tempat peraduaannya. Tetapi tetap tak ada yang mau peduli dengan lingkungannya sendiri. Memang merubah kebiasaan itu sulit. Tapi apa tidak ada keinginan sedikitpun dihati mereka untuk merubahnya?? Ya… setidaknya halamannya sendiri.
“Pak pak… maaf mau tanya, Bapak kenal sama Bintang anaknya Pak Darmanto yang tinggalnya di ujung gang depan??”
“Oh maaf Neng, Bapak kurang tahu. Coba tanya sama Pak RT saja.”
“Dimana ya Pak tinggalnya Beliau kalau boleh tahu.”
“Eneng jalan aja lurus, nanti bertemu gang Neng ambil yang kanan. Nah disitu ada rumah cat warna orange dan berpagar itu rumahnya Pak RT.”
“Oh ya ya Pak… terima kasih. Mari Pak…”
“Mari Neng, mari….”
Berbalut kain seadanya nampak dari seberang  terlihat nenek tua renta. Jalan pun sebenarnya tak sanggup. Namun ia tetap harus mencari uang untuk menyambung hidupnya. Hanyalah cucunya yang menjadikan ia tetap tegak hingga saat itu. Dengan sabarnya ia menuntun sembari menyodorkan kaleng bekas susu ternama.
“Sudah makan Nek?” (tanya Vembri ramah)
“Kasihanilah kami… kami belum makan dari tadi pagi nak.”
“Oh iya iya… mari Nek ke warung makan seberang. Nenek sama adik makan saja gak papa.”
“Terima kasih Nak, semoga Allah membalas kebaikanmu.”
“Amin amin....”
Rasanya Vembri tak rela meninggalkan pandangan sore itu. Ia melihat betapa berharganya sesuap nasi bagi mereka. Tidak hanya nenek tua dan cucunya yang aku jumpai, tetapi orang-orang di luar sana tentu masih banyak yang lebih membutuhkan. Setelah menunggu beberapa menit saja sudah lenyap. Betapa senangnya melihat mereka tersenyum. Yah… setidaknya untuk malam ini mereka tidak memikirkan bagaimana dan darimana uang untuk makan.

Kini genap dua bulan sudah Vembri tak bersua dengan Bintang. Dan semenjak itu pula kondisi keluarga Vembri berantakan. Orang tuanya yang dahulu perhatian, kini acuh tak acuh dengannya. Entah karena apa, Vembri pun tak mengerti. Namun terlihat jelas bahwa keduanya memang sedang mengalami kejayaan dibidangnya masing-masing. Jadi tidak heran jika mereka saling membanggakan kesombongannya sendiri.
Jumat pagi Vembri sudah tak lagi bisa menahan rasa sakit yang bersemayam ditubuhnya. Ia terbujur kaku di tempat tidurnya. Hingga untuk kedua kalinya ia harus menyambung nafasnya dengan bantuan alat rumah sakit. Namun kini semuanya berbeda. Sakitnya nampak serius jika dilihat dari dokter yang menanganinya.
“Pak Bu… berat rasanya saya mengatakan semua ini. Namun ini tetap harus saya lakukan. Mengapa? Karena Bapak Ibu pantas tahu dan mungkin dapat kita ambil keputusan secepatnya.” (kata Dokter dengan nada beratnya)
“Sudah Dok, katakan saja cepat!” (desak Papa Vembri)
“Apa Dok, ada apa dengan anak saya? Vembri baik-baik kan Dok? (sambung Sonya gelisah)
“Tenang Pak, Bu… namun hasil dari diagnosa terakhir Vembri mengidap penyakit Kanker stadium akhir. Jadi tinggal sepuluh hari lagi ia dapat bertahan.”
“Gak mungkin Dok! Gak mungkin!!!”
“Iya ini sebatas kemampuan kami Bu, semua takdir sudah ada yang mengatur jadi kita pasrahkan sama Tuhan saja yang Maha Berkendak akan semua umat-Nya.”
Sonya pun hanya bisa menangis tersendu setelah mendengar perkataan Dokter. Ia tak terima lalu menyalahkan suaminya. Disitulah keributan mulai ditunjukkan lagi. Mereka suguhkan dengan sangat apik. Hingga tak pantas didengar oleh anaknya yang terkapar menunggu ajal.
Vembri terbangun, namun tak dilihatnya satu orang pun disekelilingnya. Ia mencoba memanggil suster yang berjaga dikamarnya.
“Sus… tolong minta air putihnya saya haus.”
“Oh iya Mbak… (berjalan menghampiri tempat pembaringannya) ini Mbak, hati-hati.”
“Mama Papa saya kemana ya Sus? Apa mereka belum kesini.”
“Sudah Mbak, beliau baru bertemu dengan Dokter.”
“Oh. (jawabnya datar) Memangnya saya sakit apa Sus?”
“Maaf Mbak… Suster kurang tahu masalah itu.” (ditinggalnya oleh Suster menyiapkan makan siang untuk pasien lain)
Tak terasa seminggu sudah ia terbaring di tempat yang menyiksanya. Badannya semakin kurus kering tak berupa. Ardhian yang menjenguknya pun hanya bisa diam, menangis tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia setia menunggui Vembri yang sekarat menunggu malaikat mencabutnya. Orang tuanya yang dahulu berpijak pada pendiriannya masing-masing kini sudah mulai mereda. Sudah tak tampak lagi ego diantara mereka.
“Bintang… Bin, aku ikut Bin… jangan lari.” (igauan Vembri dengan bibir pucatnya yang menggigil)
Sonya pun panik, “Sayang bangun sayang… ini Mama disini Nak?”
(Vembri pun tetap tidak mendengar) Bintang… tunggu aku?? Aku mau ikut kamu. Tunggu Bin….”
Seketika Vembri tersadar dan menangis, “Ma… Vembri takut?? Kenapa Bintang ngajakin aku ikut dia????”
Sonya pun hanya menangis tak berdaya.
“Ma… kenapa Mama nangis?? Vembri baik-baik kog Ma. Jangan sedih, nanti cantiknya hilang lhow Ma??” (Vembri mencoba menghilangkan rasa gelisha yang tak bisa disembunyikan oleh Sonya)
(Sonya tersenyum) “Iya sayang… Mama gak sedih kok. Mama temani Vembri disini ya, jadi gak usah takut sayang.”
(melongokkan kepala) “Ma… Papa mana? Vembri pengen ketemu sama Papa.”
Dipanggilnya suami yang duduk di sudut ruang. Lalu mereka bergegas menyambangi putri kecilnya.
“Pa….” (dipanggilnya lirih)
“Iya kenapa Vemb… Udah enakan kan sekarang?”
“Udah Pa, cuma masih pusing aja. (memegang kepalanya) Pa, Vembri ada satu permintaan, tapi Papa bisa nepatin gak ya??” (celotehnya biasa)
“Apa Vemb? Semua akan Papa lakukan buat Vembri.” (Sonya mengusap-usap dahi Vembri dan sesekali menciuminya)
“Vembri gak mau lihat Papa Mama bertengkar kayak kemarin lagi. Papa yang akur dong sama Mama. Jangan galak-galak sama Mama, kan kasihan Pa? Apa Papa gak kasihan kalau nanti Vembri udah pergi, Papa masih marah-marah sama Mama terus?”
“Shhuuutttttt… kamu ngomong apa Nak?? Kamu itu baik-baik saja. Kamu pasti sembuh.” (dengan nada optomis)
“Iya Pa… Vembri pasti sembuh tapi umur manusia juga cuma Tuhan yang tahu. Makanya Papa Mama janji ya sama Vembri, gak bakal berantem-berantem kayak kemarin lagi.”
Kedua orang tuanya saling memandang, dan sejenak terdiam seakan menyimpan tanya.
“Udah Ma… gak usah banyak mikir. Yakinlah Ma, ego kalau diturutin gak akan ada habisnya.”
“Iya sayang… Papa Mama baik-baik aja kok. Tapi yang penting Vembri cepet sembuh ya?? Mama gak mau lihat Vembri kayak gini.” (Dipeluknya tubuh ramping yang mulai kusut)
“Doain Vembri ya Ma… biar Vembri cepet sembuh. Biar Vembri bisa cari Bintang, biar Vembri bisa gangguin Mama desain baju.” (sekali lagi Sonya mencium kening anak semata wayangnya yang sedang meregang nyawa)
Disitulah ia genggam erat-erat tangan Ayahnya. Namun perlahan-lahan genggaman itu lepas. Dicarinya genggaman itu namun sudah tiada. Genggaman yang ia rasakan satu detik yang lalu kini hanyalah kenangan yang pertama dan terakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar